Jumat, 09 Juni 2017

Suku Bunga ECB Tidak Berubah, Euro Melemah

Mata uang Euro kembali tergelincir pada di awal sesi perdagangan New York setelah European Central Bank tetap mempertahankan suku bunga rendah, semakin menguatkan dugaan bahwa ECB tidak akan terburu buru melakukan pengetatan kebijakan moneter.

ECB juga menurunkan outlook terhadap kenaikan suku bunga lebih lanjut dan kembali menegaskan bahwa suku bunga tetap akan bertahan pada rekor rendah. Keputusan tersebut langsung menekan pergerakan mata uang Euro, pasalnya ekspektasi pasar sebelumnya menyakini ECB akan memberikan sinyal hawkish pada Press Conference malam ini.
Presiden ECB, Mario Draghi dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa tidak terjadi silang pendapat antara pembuat kebijakan Bank Sentral sebelum mengumumkan keputusan untuk memangkas proyeksi inflasi dan mempertahankan suku bunga di tingkat rendah.

Mereka (ECB) terus melakukan pelonggaran moneter dan hasil keputusan menunjukan program quantitative easing masih akan dilanjutkan bila itu dibutuhkan

ucap Sonja Marten, Analis DZ Bank di Frankfurt, Jerman.

Keputusan ECB yang tetap mempertahankan suku bunga di level rendah dan memangkas proyeksi pengetatan kebijakan moneter tahun 2018 tentu berpotensi menekan Euro yang selama lima bulan terakhir berada dalam trend bullish terhadap Dollar AS.

ECB juga menurunkan outlook terhadap kenaikan suku bunga lebih lanjut dan kembali menegaskan bahwa suku bunga tetap akan bertahan pada rekor rendah. Keputusan tersebut langsung menekan pergerakan mata uang Euro, pasalnya ekspektasi pasar sebelumnya menyakini ECB akan memberikan sinyal hawkish pada Press Conference malam ini.
Presiden ECB, Mario Draghi dalam sebuah pernyataan menegaskan bahwa tidak terjadi silang pendapat antara pembuat kebijakan Bank Sentral sebelum mengumumkan keputusan untuk memangkas proyeksi inflasi dan mempertahankan suku bunga di tingkat rendah.
Mereka (ECB) terus melakukan pelonggaran moneter dan hasil keputusan menunjukan program quantitative easing masih akan dilanjutkan bila itu dibutuhkan”, ucap Sonja Marten, Analis DZ Bank di Frankfurt, Jerman.
Keputusan ECB yang tetap mempertahankan suku bunga di level rendah dan memangkas proyeksi pengetatan kebijakan moneter tahun 2018 tentu berpotensi menekan Euro yang selama lima bulan terakhir berada dalam trend bullish terhadap Dollar AS.

Hasil Polling Menangkan PM Theresa May, Sterling Mengendur 

Fokus Investor saat ini juga tertuju pada hasil Pemilu Inggris dimana sebuah polling terakhir menunjukan partai Konservatif yang dipimpin oleh Theresa May kembali unggul cukup telak terhadap partai Labour sebagai pesaing terdekat. Conservatif memperoleh suara 43 persen, unggul 8 persen terhadap partai Labour yang memperoleh 36 persen suara.
Mata uang Sterling lantas mengendur dari posisi tertinggi dua pekan menyikapi hasil polling tersebut, pair GBP/USD melemah 0.54 persen dan pada pukul 20:30 WIB malam ini berada di level 1.2920 menjauhi level high harian 1.2977. Kondisi serupa juga terjadi pada EUR/USD yang melemah dan diperdagangkan pada harga 1.1222
Fokus Investor saat ini juga tertuju pada hasil Pemilu Inggris dimana sebuah polling terakhir menunjukan partai Konservatif yang dipimpin oleh Theresa May kembali unggul cukup telak terhadap partai Labour sebagai pesaing terdekat. Conservatif memperoleh suara 43 persen, unggul 8 persen terhadap partai Labour yang memperoleh 36 persen suara.
Mata uang Sterling lantas mengendur dari posisi tertinggi dua pekan menyikapi hasil polling tersebut, pair GBP/USD melemah 0.54 persen dan pada pukul 20:30 WIB malam ini berada di level 1.2920 menjauhi level high harian 1.2977. Kondisi serupa juga terjadi pada EUR/USD yang melemah dan diperdagangkan pada harga 1.1222

ECB Akan Pangkas Outlook Inflasi, Berpotensi Menekan Euro

Mata uang tunggal Euro anjlok lebih dari setengah persen di awal sesi New York malam ini setelah sebuah laporan menunjukkan bahwa Bank Sentral Eropa berniat untuk memangkas proyeksi Inflasi zona Eropa. Hal ini menjadi sentimen negatif bagi Euro, pasalnya Investor sebelumnya berharap ECB dapat mengambil langkah menuju arah pengetatan kebijakan moneter.

Perlu diketahui bahwa Euro telah menguat 10 persen versus Dollar AS dalam kurun waktu lima bulan terakhir, disebabkan oleh pelemahan Greenback menyusul kekecewaan Investor terhadap janji Presiden Trump (Reformasi Pajak) yang tidak kunjung terealisasi. Sedangkan naiknya Inflasi zona Eropa dipercaya akan mendorong ECB menaikan suku bunga awal tahun 2018 mendatang.
Namun sayangnya, tekanan inflasi Global yang memudar ditambah dengan rilis data fundamental Eropa baru-baru ini sedikit mengecewakan. Hal tersebut telah menggeser pandangan pembuat kebijakan Bank Sentral Eropa. Pejabat ECB diperkirakan tidak mengubah sinyal kebijakan moneter pada rilis hasil pertemuannya pada hari Kamis besok.
Bloomberg mengutip pernyataan seorang pejabat ECB yang tidak disebutkan namanya, bahwa proyeksi inflasi untuk tiga tahun ke depan terpangkas menjadi 1.5 persen, dari sebelumnya 1.7 persen.
Laporan tersebut memunculkan berbagai respon dari ekonom, salah satunya dari Kepala Analis Pasar CMC Market, Michael Hewson. Ia mengatakan, "Jika kamu menurunkan forecast inflasi untuk tahun depan, maka sebenarnya kamu (merujuk pada ECB -red) telah mengirim pesan kepada pasar bahwa 'kami tidak terburu buru'."
"Mungkin ECB tidak menginginkan Euro terus menguat, sehingga cara yang lebih baik yaitu dengan mendorong Euro untuk turun terhadap Dollar yang melemah, dan menarik harapan sinyal Hawkish pada pengumuman Rapat ECB hari Kamis besok, dimana pada dasarnya mereka menurunkan ekspektasi", tambah Michael Hewson.
Pada pukul 21:08 WIB malam ini, Euro berbalik menguat versus Dollar setelah sebelumnya anjlok cukup dalam hingga menyentuh level terendah harian 1.1203. Pair EUR/USD diperdagangkan pada level 1.1261 yang menunjukkan pelaku pasar enggan berspekulasi lebih jauh jelang ECB Press Conference pada pertemuan besok.

Harga Emas Susut, Pasar Fokus Ke ECB Dan Pemilu Inggris

Testimoni tertulis mantan Direktur FBI James Comey yang tidak mengejutkan pasar dan penguatan mata uang Dolar AS membuat harga emas sedikit melemah. Harga emas di sesi Asia pada hari Kamis (08/06) ini terpantau menurun dari level tertinggi tujuh bulan. Namun, penurunan harga si kuning tersebut dibatasi oleh fokus para investor ke pengumuman suku bunga ECB serta hasil pemilu Inggris.

Harga emas telah menanjak sebesar satu persen ke level tinggi tujuh bulan pada sesi perdagangan hari Selasa kemarin seiring dengan merebaknya ketidakpastian di pasar finansial dan politik.

Tren naik harga emas masih cukup kuat mengingat harga emas saat ini terpantau masih diperdagangkan di dekat level pentingnya.
"Harga emas bisa jadi melanjutkan kenaikan dan berada di kisaran level 1,295 Dolar AS," ungkap Wakil Presiden Eksekutif Dillon Gage Metals, Walter Pehowich. Menurut Pehowich, apabila emas mampu melewati level harga tersebut, maka harga si kuning mampu melonjak ke level harga 1,300 Dolar AS.

Investor Menanti Pengumuman Kebijakan Moneter ECB
Saat ini sebagian besar investor terus mengamati kurs Dolar dan menunggu perkembangan serta potensi pergerakan harga pasar pada pekan ini. Pada hari Kamis malam nanti, pasar akan memberikan perhatian mereka padapengumuman kebijakan moneter ECB dan mencermati jalannya pemilu Inggris. Di samping itu, trader tengah menantikan  hasil rapat FOMC pekan depan.
Edward Meir, analis di INTL FCStone menilai,"Ada kemungkinan harga emas akan dihadapkan dengan pelemahan signifikan sejalan dengan tingginya prospek kenaikan tingkat suku bunga oleh Federal Reserve". Meski demikian, Edward Meir berpendapat, sebaliknya harga logam mulia kuning tersebut bisa terangkat apabila pernyataan pejabat bank sentral AS cenderung dovish.

Rabu, 07 Juni 2017

Kemelut Global Meningkat, Harga Emas Menuju Tertinggi Dua Bulan





Harga emas naik makin tinggi pada perdagangan hari Selasa pagi ini (6/6) setelah ditutup menguat kemarin. Pasar finansial global masih menelaah situasi pasca serangan teroris di London Bridge dan perpecahan diplomatik di Timur Tengah, sembari menantikan hasil dari sejumlah event penting minggu ini. Ketidakpastian yang tinggi membuat logam mulia banyak dicari.


Harga kontrak-kontrak berjangka emas sudah meninggi sejak akhir pekan lalu setelah data ekonomi AS mengecewakan sehingga memukul kurs Dolar dan meningkatkan minat investor pada Emas.
Data ekonomi AS yang dirilis hari Senin pun tak terlalu memuaskan. Produktivitas sektor Non-Pertanian AS dilaporkan tak berubah sama sekali selama kuartal pertama tahun 2017 dan justru terpantau menurun 0.6% secara tahunan. Pesanan Pabrikan di bulan April sesuai ekspektasi menurun 0.2% MoM, lebih buruk dibanding pencapaian 1% di bulan sebelumnya. Sementara itu, Indeks PMI Non-Manufaktur ISM pun turun tipis ke 56.9 dari 57.5.
Angka-angka tersebut dikhawatirkan dapat mengusik laju kenaikan suku bunga AS tahun ini, meski kenaikan pada bulan Juni ini tetap dilakukan oleh bank sentralnya, Federal Reserve (FED). Keraguan tersebut mendukung harga Emas sebagai aset dengan imbal hasil tak berbentuk bunga.

Saat ini, pasar masih memantau reaksi negara-negara ekonomi besar menanggapi serangan teroris di London serta perpecahan negara Timur Tengah Di samping itu, sejumlah event yang diagendakan pada hari Kamis juga dinantikan dengan hati-hati, diantaranya:
  • Rapat Kebijakan Moneter Bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB).
  • Kesaksian mantan direktur FBI James Comey di hadapan Komite Intelijen Senat AS mengenai dua topik penting, yaitu investigasi atas keterlibatan Rusia dalam pemilu AS serta dugaan upaya intervensi Presiden Trump dalam investigasi tersebut.
  • Pemilu Parlemen Inggris.
Harga Emas sebagai aset lindung nilai biasanya naik ketika konisi risiko pada instrumen finansial lainnya meningkat.

Yen Melonjak Tajam Akibat Ketidakpastian Politik Global



 Mata uang Yen menguat signifikan terdapat Dollar AS sepanjang sesi perdagangan hari Selasa (6/6) sebagai dampak atas terjadinya ketidakpastian politik di Inggris jelang Pemilu pekan ini. Selain itu faktor memanasnya tensi geopolitik di Timur Tengah ikut menyokong pergerakan Yen.

Dollar melemah ke level terendah sejak pertengahan April versus Yen setelah rilis beberapa data ekonomi AS cukup mengecewakan. Turun nya Dollar salah satunya disebabkan oleh karena nilai Obligasi Pemerintah Federal AS juga ikut menurun ke posisi terburuk sejak November 2016 dan Investor mencari perlindungan aset jelang pemilu Inggris pekan ini.

Kekhawatiran Investor tidak serta merta tertuju pada Pemilu Inggris saja karena juga akan menantikan hasil pertemuan ECB pada hari Kamis nanti dan Testismoni mantan Direktur FBI, James Comey dihadapan Senat ikut mendorong terjadinya ketidakpastian politik sehingga permintaan mata uang safe heaven Yen ikut melonjak.
“Banyak Investor berpikir bahwa rentetan event besar dari berbagai kawasan dunia terjadi secara bersamaan pada hari Kamis sehingga perlu menjadi perhatian dan menyebabkan munculnya kekhawatiran atas resiko yang mungkin muncul”, ucap Jeremy Stretch, ahli ekonomi CIBC di London.

Sentimen Negatif Berpotensi Tekan Dollar AS Pelemahan mata uang Dollar seolah belum berakhir versus berbagai major currency – setelah menguat signifikan pasca terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS – pasalnya keyakinan Investor terhadap janji Trump dalam melakukan reformasi pajak kian tergerus. Terlebih setelah rilis beberapa data fundamental AS menunjukan ekonomi Paman Sam belum sekokoh yang diharapkan.
Sentimen negatif yang melanda AS pasca dugaan skandal Trump memecat James Comey ikut membebani pegerakan Greenback. Comey pun dijadwalkan akan memberi kesaksian di hadapan Senat sebagai salah satu upaya Investigasi (Skandal Trump) yang tengah dilakukan saat ini.
Pair EUR/USD menguat setelah selama sesi Eropa tadi sore melemah, sedangkan GBP/USD masih terlihat bergerak naik turun (ketidakpastian) jelang Pemilu Inggris pekan ini. Dollar AS harus anjlok cukup dalam terhadap Yen,USD/JPY melemah 1.1 persen sejak pembukaan sesi Asia dan perlemahan Dollar diperkirakan masih akan terjadi jelang pertemuan FOMC tanggal 13 -14 Juni mendatang.

Harga Minyak Ambruk Akibat Timur Tengah Pecah Kongsi




Harga minyak anjlok makin dalam pada perdagangan Selasa pagi ini (6/6) dengan Brent maupun WTI diperdagangkan jauh di bawah harga $50 per barel. Perpecahan di kalangan negara-negara Timur Tengah dengan pemutusan hubungan diplomasi antara Qatar dengan empat negara lainnya, dinilai dapat menghambat upaya pemangkasan output yang tengah digiatkan OPEC.
 
Pada hari Senin siang, merebak kabar bahwa Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, dan Bahrain memutus hubungan diplomatik dengan Qatar dengan tuduhan mendukung Iran dan Muslim Brotherhood, negara dan organisasi lintas batas yang dianggap biang terorisme oleh keempat negara tersebut. Beberapa jam kemudian, angkatan bersenjata Qatar juga digusur dari barisan koalisi pimpinan Saudi yang tengah berada di Yaman. Sejumlah langkah strategis dilakukan dalam rangka pemutusan hubungan diplomatik, termasuk pengusiran diplomat dan warga Qatar dari kawasan negara-negara terkait dan pemutusan penerbangan antar wilayah. Bahkan, pelabuhan di Fujairah, Uni Emirat Arab, yang biasa digunakan oleh kapal-kapal tanker minyak dan LNG Qatar pun diblokir.

Akibatnya, meski harga minyak sempat naik tipis pada sesi perdagangan Senin pagi setelah kabar kenaikan harga minyak saudi untuk kawasan asia tetapi kemudian langsung anjlok lagi. Saat berita ini ditulis, Brent dihargai di kisaran $49.28 per barel, sedangkan WTI di sekitar $47.19 per barel. Keduanya nyaris delapan persen lebih rendah dibanding posisinya pasca penggumuman perpanjangan output pada akhir bulan Mei lalu.

Dengan kapasitas produksi sekitar 600,000 barel per hari (bph), Qatar merupakan salah satu negara dengan produksi terkecil dalam OPEC. Akan tetapi, ketegangan dalam kartel raksasa ini membuat pelaku pasar khawatir.
"Sebuah risiko potensial untuk dipantau adalah kemungkinan Qatar akan memandang (pemutusan hubungan diplomatik) ini sebagai kurangnya insentif untuk mentaati kuota produksi yang telah disetujui," ujar Jameel Ahmad dari Broker FXTM, sebagaimana dikutip oleh Reuters. Lebih dari itu, aksi empat negara tersebut bisa digunakan pula oleh negara-negara lainnya sebagai alasan untuk berhenti mengerem produksi. Apabila itu terjadi, maka limpahan surplus minyak global bisa gagal disusutkan.